KATA PENGANTAR
Nilai Dasar Perjuangan adalah sebuah landasan filosofis dan
ideologis sekaligus sebagai spirit perjuangan dari organisasi sehingga setiap
kader HMI harus mampu memahami nilai dasar perjuangan bukan hanya pada tataran
yang formal tapi juga secara substansial sehingga tidak ada kontradiksi pada
tataran konsep dan taktis melainkan sebuah keserasian antara landasan
konseptual yang diterjemahkan pada wilayah starategis dan kebijakan yang taktis
atau operasional.
Setiap generasi bertanggung jawab
pada sejarah yang yang menyertainya, dan progressifitas perubahan menjadi
keniscayaan dari setiap sejarah. Begitu halnya dengan sebuah organisasi ataupun
suatu lembaga pasti diwarnai dengan perubahan, dan organisasi yang tidak mampu
mengikuti pola perubahan yang terjadi pada zamannya, maka dia akan tertinggal
jauh dan menjadi organisasi yang terbelakang, sehingga wacana perubahan adalah
identik dengan parsialitas perubahan yang niscaya harus direspon. Tuntutan
inilah yang mendorong keterbukaan dan progresifitas, karena wacana yang anti
kepada perubahan adalah kejumudan, ketertutupan terhadap realitas yang
mengalami perubahan dan cenderung bersifat status quo dalam memapankan
kekuasaan. Bakornas LPL HMI
dalam melihat wacana perubahan yang terjadi dalam spirit organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan
dalam pengkaderan yang tentunya
berlandaskan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi Himpunan Mahsiswa
Islam (HMI), maka dengan itu kami mencoba memfasilitasi kader-kader HMI yang
masih tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk memformat ulang materi-materi dalam Nilai Dasar Perjuangan
(NDP) yang menjadi rekomendasi kongres. Sebagai langkah kongkrit maka kami dari
Bakornas LPL HMI mengadakan semiloka Pendalaman NDP di Mataram, yang kemudian
menghasilkan draf materi dan pembentukan
tim 8 untuk kemudian menggodok lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan
draft narasi yang menjadi kelanjutan forum di mataram selanjutnya digelarlah
pendalaman dan finalisasi penulisan draft NDP yang diadakan oleh Bakornas yang
bekerja sama dengan tim 8 di cabang Makasar Timur.
Dari hasil materi tersebut sepenuhnya nilai dasar perjuangan
HMI tidaklah mengalami perubahan yang radikal kecuali hanya beberapa tema yang
mengalami perubahan dan terdapat beberapa tema-tema tambahan khususnya materi landasan
dan kerangka Berpikir dan dasar-dasar kepercayaan. Materi ini dianggap penting karena
secara substansial materi ini dapat mengantarkan kita berpikir induktif yang
ukuran kebanaran hanya dalam batas yang material dan mengarahkan kita kepada
tidak meyakini hal-hal yang sifatnya metafisika dan hal itu mengingkari
landasan ideologis organisasi yang berbasis Islam. Dan materi dasar-dasar
kepercayaan yang selama ini bersifat dogmatis karena pembuktian wujud melalui
pemahaman teks yang justru membawa paradigma determenistik dan jauh dari
prinsip-prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi pengayaan pendekatan dalam
membuktikan esensialitas ajaran islam secara logis dengan pendekatan deduktif.
Adapun pengayaan lanjut dalam materi
nilai dasar perjuangan adalah pertama: Hakikat penciptaan dan eskatologi,
materi ini mengurai tentang hakikat penciptaan manusia dan pembuktian secara
rasional akan adanya hari kebangkitan dengan argumentasi yang logis dengan
prinsip-prinsip yang rasional, kedua: manusia dan nilai kemanusiaan,
materi ini mengurai tentang manusia
sebagai khalifah dalam alam makrokosmos dilihat dari berbagai persfektip
tentunya dalam kaca mata Qur,an melihat manusia, apa ukuran manusia itu
dikatakan sempurna apakah dalam dimensi fisiologis atau dalam dimensi
sprtitual, Al-qur’an melihat bahwa ukuran kesempuraan terletak dalam dimensi
spritualitas bukan fisiologis seperti yang banyak diungkapkan oleh
pemikir-pemikir barat yang berbasis materialistik. Selanjutnya penjabaran
meteri dari kemerdekaan manusia dan
keniscyaan universal, individu dan masyarakat, keadilan ekonomi dan keadilan
sosial dan sains islam mengalami perubahan pada materi yang secara
substansial adalah turunan dan penjabaran lebih jauh dari perubahan meteri dari
hakikat penciptaan dan eskatologi dan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, yang
tentunya dengan uraian materi yang saling terkait antara sub-sub bab
masing-masing dalam kerangka yang sistematis.
Pada kesempatan ini secara khusus
Bakornas LPL HMI mengucapkan terima kasih kepada Kanda Muhammad Anwar (Cak
Konyak) selaku Kabid PA PB HMI Priode 2003-2005 yang telah memberikan
support penuh sehingga terlaksananya penulisan pengayaan materi NDP ini. Selain itu kepada Badko HMI Nusra dan HMI
Cabang Makasar Timur yang telah memfasilitasi proses penulisan teks NDP, serta
pihak-pihak lain yang turut membantu proses pengayaan materi NDP ini, semoga
Allah SWT membalas dengan setimpal.
Demikianlah pengantar dari Bakonas
LPL PB HMI, mudah-mudahan kerja keras dan niat yang tulus ini mendapatkan Ridho
dan Berkah-NYA serta bermanfaat buat kader-keder HMI dalam menata lebih jauh
format pengkaderan di organisasi yang
tercinta ini.
Yakin Usaha
Sampai.
Billahi Taufiq Walhidayah
Wassala’mu Alaikum Wr,Wb
BADAN KOORDINASI
NASIONAL
LEMBAGA PENGELOLA
LATIHAN
HIMPUNAN MAHASISWA
ISLAM
(BAKORNAS
LPL HMI)
ENCEF
HANIF AHMAD HASBULLAH
Ketua Umum Sekertaris
Umum
DAFTAR ISI
BAGAN ALUR KONSEP
NILAI-NILAI DASAR
PERJUANGAN (NDP)

POKOK BAHASAN TIAP
BAB NDP
1. LANDASAN DAN KERANGKA
BERPIKIR
◘ Sumber Epistimologi
◘ Teori Pengetahuan
◘ Landasan Penilaian
◘ Metode Berfikir
2. DASAR-DASAR
KEPERCAYAAN
◘ Dilema Kepercayaan
◘ Argumen Teologi
◘ Esensi Ajaran Islam (
Tauhid, Falsafah Kenabian, dan Falsafah Syariat)
3. HAKIKAT PENCIPTAAN
DAN ESKATOLOGI
◘ Memahami Prinsip Kausalitas
◘ Hakikat Penciptaan
◘ Pahaman Terhadap Realitas dan
Hubungan Jiwa dengan Jasad
◘ Keadaan Jiwa Setelah Penciptaan
4. MANUSIA DAN
NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
◘ Hakikat Manusia Sempurna
◘ Hakikat Moral (Falsafah Akhlak)
5. KEMERDEKAAN MANUSIA
DAN KENISCAYAAN UNIVERSAL
◘ Konsep Free Will dan Determinis
◘ Keadilan Ilahi
◘ Takdir dan Ikhtiar Serta Hubungannya
6. INDIVIDU DAN
MASYARAKAT
◘ Hakikat Manusia
Sebagai Makhluk Individu dan Sosial (Status Ontologisnya)
◘ Esensi Masyarakat
◘ Hubungan antara Individu Dan
Masyarakat
7. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN
EKONOMI
◘ Falsafah Keadilan
◘ Mengenal Prinsip Keadilan
Idiologi-idiologi Besar
◘ Mengenal Sistem Kerja Masing-masing
Idiologi
◘ Konsepsi Islam Tentang Prinsip
Keadilan Sosial dan Ekonomi
8. SAINS ISLAM
◘ Status Ontologis
◘ Metodologi
◘ Hakikat Ilmu
NILAI
DASAR PERJUANGAN HMI
(Hasil Pengayaan Terhadap NDP Hasil Kongres HMI
XXIV)
BAB I : LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR
Dalam
benak/pikiran manusia terdapat sejumlah gagasan-gagasan baik yang bersifat
tunggal (seperti gagasan kita tentang Tuhan, Dewa, malaikat, surga, neraka,
kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain) maupun majemuk (seperti gagasan
kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak, Malaikat pembawa wahyu, kuda putih,
gunung batu dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan ini disebut
pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi keyakinan atau
kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk konsepsi sederhana
ini. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena adalah mustahil seseorang dapat
meyakini atau menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya bukan merupakan
sebuah konsepsi baginya.
Tetapi
pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah diketahui hanyalah merupakan
gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum ada penilaian maka itu ia
dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang tidak diperkenankan untuk
merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi ia harus melangkah untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu pengetahuan-pengetahuan
tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu proses penilaian terhadap
setiap gagasan-gagasan (baik tunggal
maupun majemuk) atau konsepsinya itu agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya
adalah apa landasan pokok penilaian kita di dalam menilai seluruh
gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya mestilah bersifat mutlak dan pasti?
Dalam kanca
perdebatan filosofis ketika para pemikir mencoba menjawab hal pokok ini
terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya masing-masing. Ketiga mazhab
itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua,
mazhab emperisme dengan doktrin emperikalnya dan ketiga, mazhab
skriptualisme dengan doktrin tekstualnya. Metafisika Islam dalam hal ini
menjadikan prima principia dan kausalitas serta metode deduktif sebagai
kerangka berfikirnya. Adapun mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi
atau eksperimen sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif
sebagai kerangka berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan
teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta
tekstual dalam kerangka berfikirnya.
Mazhab kedua
(empirisme) menolak seluruh bentuk landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab
yang lain. Begitu pula bagi mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis
terhadap landasan dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Adapun bagi
mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak menolak sumbangsih-informasi
dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi atau eksperimen yang
dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab yang lain tetapi yang ditolaknya
adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab) itu merupakan landasan
atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal ilmiah filosofis maupun
teologis.
Bagi mazhab
pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen merupakan
informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek
sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau
pengalaman inderwi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah
khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi
bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam
upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan (kondisi objektif)
seperti alam gaib, akhirat,
kehendak-kehendak suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita
berkenaan dengan sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang
dalam hal ini pengalaman inderawi atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali.
Karena itu dalam kerangka berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman
inderawi atau eksperimen dan teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis
minor dalam sistematika deduktif.
Pada akhirnya tak
dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang berlandaskan prima principia dan
hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan satu-satunya
landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa pengetahuan dasar
tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi) maupun tasdhiq (assent)
apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi bila doktrin dari metafisika
Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas objektif) yang mengatur segala
sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat menjadi sama dengan
kesalahannya, bahwa setiap peristiwa
dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka tentu meniscayakan
mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak penilaian adalah ingin
diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau salah” atau
ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat terjadi”.
Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan watak dan hukum
realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka seluruh bangunan
pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah, filosofis dan teologi menjadi runtuh
dan tak bermakna.
BAB II: DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia adalah mahluk percaya. Pada kadarnya
masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran berupa
prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara intuitif
(common sense) yang menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum ia
merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki
potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui
aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya
memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya.
Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya
melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia.
pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar
dan Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan
mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang.
Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala
potensi yang dimilikinya.
Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah
konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud
yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan
mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).
Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang
ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut
sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan)
tidak ada yang mengadakannya.
Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai
prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan
penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas
keberadaannya dan Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga
apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang
mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.
Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung - memerlukan
sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan
pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang
Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan
kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu
itu harus dapat dijelaskan oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak
doktriner. Sehingga, semua lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup
menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa Sang
Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga kepercayaan (agama) di dunia ini
dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol agama yang berbeda
satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa kemungkinan: semua
agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda mustahil memiliki sosok
Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan etimologis. Sebab, bila sosok
tersebut sama, maka agama-agama itu identik. Namun, kenyataan sosiologis
menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing agama. Demikian pula, menilai
semua agama itu salah adalah mustahil, sebab bertentangan dengan prinsip
kebergantungan manusia pada sesuatu yang mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka
dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan argumentasi
diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi memilih dan mengikuti agama yang
telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan
keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan
agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang
pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta / khaliq). Bertolak belakang
dengan ciri-ciri khas manusia (Yang
diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri,
tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang
mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian,
tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).
Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat
mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi
Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah
membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti
bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih
besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan hal
tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat
zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya
seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna
lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un)
sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan
mutlak.
Keinginan untuk merefleksikan ungkapan terima kasih dan
beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan kesadaran bahwa Ia Yang
Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara yang benar dan pasti dalam
berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada setiap mahluk berjalan sesuai
dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan yang suprarasional
(wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang memiliki ketinggian
spritual.
Relasi konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk
membimbing makhluk secara terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan
bimbingan memestikan kehadiran sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya
(rasul), yang merupakan hak prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di
dunia. Kepatuhan dan kecintaan makhluk kepada mereka adalah niscaya.
Pengingkaran kepada mereka identik dengan pengingkaran kepada Tuhan.
Bukti kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh
kejadian-kejadian kasat mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang
awwam) maupun bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang
mustahil dapat dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda
istimewa kepada rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga
sebagai bukti tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan
pesuruh-Nya, kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.
Kepatuhan dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan
sikap percaya terhadap apa pun yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan
tentang kitab suci (bacaan atau kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang
dibawanya adalah konsekuensi lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat
keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari alam sekitar dan
manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin dapat diterima oleh
pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak
(Tuhan) diatas ternyata selaras dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam
ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku rasul Tuhan yang disembah selama ini.
Muhammad mengajarkan kalimat persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la)
Tuhan (ilah) yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan
kebenaran Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga
menerangkan bahwa dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang
mengajarkan ketundukan dan kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada
ummatnya ini (muslim). Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan
berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain
dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun
di alam ini.
Konsukuensi lanjut setelah manusia melakukan pencarian
ketuhanan dan kerasulan adalah kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya
untuk meraih kebahagiaan. Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan
mewujudkan keinginan-keinginan ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang
bersifat temporal ini melahirkan konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang
sebelumnya dimulai dengan terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/
kiamat/ hari agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan.
Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah
atau duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha
dan tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala.
Kehidupan akhirat merupakan refleksi perbuatan berlandaskan
iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan kata lain, ganjaran di akhirat
adalah kondisi objektif dari relasi manusia terhadap Tuhan dan alam.
BAB III: HAKEKAT PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI (MA’AD)
Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan
pondasi penting dari keimanan Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan
dihari akhirat (kehidupan sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan
suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan
ini dapat dipandang sebagai bukan muslim.
Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati
maka masalah tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan,
apakah yang memiliki tujuan dalam penciptaan itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan
kemanakah tujuannya?.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah
bersandar pada landasan-landasan metafisika Islam sehingga
konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat
terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga yang akan menjelaskan
kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu
yang sempurna dan Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi
tujuan dari seluruh gerak ciptaan.
Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal
untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati
(Eskatologi).
Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari
akhirat ini mestilah dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga
tidak ada sedikitpun alasan yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum
mempercayai wahyu Ilahi) untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan
sendirinya bila kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai
sesuatu yang mutlak atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul
kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini
atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut,
kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara
dunia sekarang dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan
manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan anatara kehidupan
dunia sekarang dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan
bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat,
kebahagiaan kita sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena
ia mengingatkan manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan
cara ini manusia menyadari bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran,
perkataan dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang
paling kecil, mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri.
Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya
itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab
segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode
kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada
kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode
kedua tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum sesuai
perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari
kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia. ¯
BAB IV: MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Satu hal yang mesti dilakukan sebelum kita membicarakan
hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan filosofis yang senantiasa
hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa sesungguhnya manusia itu? Dari
segi aspek apakah manusia itu mulia atau terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu
manusia bukanlah makhluk unik dan sulit untuk dipahami bila yang ingin
dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah (fisiologis)nya. Karena cukup
dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat mengetahui bentuk atau struktur
terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan makhluk basyariah (dimensi
fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga memiliki aspek insan
(dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia yang paling sublim
serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi yang disebut
terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat material
sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan derajat manusia ditentukan
dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia atau hina tidak
berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat fisik tidaklah
dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu
hina dan tidak mulia tetapi dari aspek insanlah seperti pengetahuan,
moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami sebagai makhluk mulia atau
hina.
Dalam beberapa kebudayaan dan agama manusia dipandang
sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa manusia merupakan pusat tata
surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan Plotimius bahwa bumi merupakan
pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda langit ‘berhikmat’ bergerak
mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ makhluk mulia bernama manusia
bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran benda-benda langit mengelilingi
bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun seiring dengan kemajuan sains
pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak menyisakan nilai mulia pada
manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat tata surya tetapi
matahari.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk mulia bahkan
dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya tak ada bedanya dengan
mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari itu dianggap tak ada
bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang di keluarkan oleh batu
bara. Karena itu wajar bila manusia dan
nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Maka datanglah kaum humanisme
berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang bahwa kekuatan, kekuasaan,
kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang
membedakan manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolak ukurnya, lantas haruskah orang
seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa saja terhadap
bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukurnya. Lantas, apakah
dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu tinggi abad 20
atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paulus Yohanes paus II,
ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing? Sungguh semua itu
termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan manusia – tidak mampu
mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk kemudian mengangkatnya
menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur kemanusian itu? Sungguh dari
seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia yang ada di muka bumi tak satu
pun yang dapat menandingi paradigma (tolak ukur)nya serta tidak ada yang lebih
representatif dalam memupuk psikologisnya kearah yang lebih mulia dari apa yang
ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber
segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat bergantung (tolak ukur) segala
sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui dalam konsepsi Islam, manusia ideal (insan kamil)
dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan karenanya
ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi atau rosul (QS.2:30).
Karena itu, ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada dirinya
(QS.33:21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari
“gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (QS.68:4). Dengan kata lain bahwa karena
Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi manusia dengan
demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia sempurna) dari
seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang
sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam
konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan
lebih rendah dari binatang.
Dengan demikian keidentikan
kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan
manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan
dianggap sebagai syaitan (QS.6:112).¯
BAB V: KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR MANUSIA)
DAN KENISCAYAAN
UNIVERSAL (TAQDIR ILAHI)
Sebagai mahluk Tuhan yang ditetapkan sebagai wakil Tuhan
(QS. 2:30) manusia berbeda dengan batu, tumbuhan maupun binatang. Batu ketika
menggelinding dari sebuah ketinggian bergerak berdasarkan tarikan gravitasi
bumi tanpa ikhtiar sedikitpun begitu pula halnya tumbuhan yang tumbuh hanya
dibawah kondisi tertetu atau sebagai mana binatang yang bertindak berdasarkan
naluri alamiahnya. Ketiga mahluk-mahluk ini bergerak atau bertindak tidak
berdasarkan ikhtiari.
Namum bagi manusia, ia merupakan mahluk yang senantiasa
diperhadapkan pada berbagai pilihan-pilihan, dan hanya dengan adanya sintesa
antara ilmu dan kehendak yang berasal dari tuhan ia dapat berikhtiar (memilih)
yang terbaik diantara pilihan-pilihan tersebut. Tanpa ilmu tentang hal-hal
ideal ataupun keharusan - keharusan universal maka meniscayakan ketiadaan ikhtiar
dan begitupula ketiadaan kehendak atau keinginan maka iapun mungkin memilih,
orang gila (tidak berilmu) dan pingsan (takberkehendak) adalah bukti nyata
ketiadaan ikhtiar. Sementara, ketiadaan ikhtiar bukti ketiadaan kebebasan dan
itu memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Jadi ia merupakan mahluk berikhtiar
yang hanya dapat bermakna bila berhadapan diantara keharusan-keharusan
universal (takdir).
Keharusan - keharusan universal atau yang biasa disebut
sebagai takdir takwini ataupun takdir tasri’i baik yang bersifat defenitif
(Dzati) maupun yang tidak bersifat defenitif (Sifati) bukanlah berarti bahwa
manusia sesungguhnya hanya sebuah robot yang bergerak berdasarkan skenario yang
telah dibuat Tuhan, tetapi hendaklah dipahami bahwa takdir tidak lain sebagai
sebuah prinsip akan terbinanya sistem kausalitas umum (bahwa akibat mesti
berasal dari sebab-sebab khususnya, dimana rentetan kausalitas tersebut
berakhir pada sebab dari segala sebab yakni tuhan) atas dasar pengetahuan dan
kehendak ilahi yang Maha Bijak. Takdir Takwini (Ketetapan penciptaan) tiada
lain merupakan prinsip kemestiaan yang mengatasi sistem penciptaan alam dan
takdir tasyrii (Ketetapan Syariaat) merupakan prinsip kemestiaan yang mengatur
sistem gerak individu maupun masyarakat dari segi sosiologis dan spritual.
Memahami konsep takdir sebagai sebuah skenario yang telah
ditetapkan oleh tuhan meniscayakan ketiadaaan keadilan tuhan dan konsep
pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir tidaklah dipahami sebagaimana yang
telah didefenisikan diatas (yakni takdir takwini sebagai sebuah sistem yang
mengatur proses penciptaan dan takdir tasyri’i sebagai ketapan yang mengatur
kehidupan etik, sosial dan spritual individu dan masyarakat). Maka itu berarti
bahwa pada proses kejadian fenomena alam, panas dapat membuat air menjadi beku
dan sekaligus mendidih. Berbuat baik akan mendapat surga dan sekaligus neraka,
atau pujian sekaligus cacian. Bila demikian adanya maka yang terjadi adalah
disatu sisi akan terjadi kehancuran pada alam, individu dan masyarakat, disisi
lain memustahilkan adanya pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau
beku, surga atau neraka dan karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar.
Artinya ikhtiar itu menjadi berarti hanya bila pada
realitas terdapat hukum-hukum yang pasti (takdir) atau dengan kata lain ikhtiar
pada awalnya berupa potensial dan ia menjadi aktual bila terdapat adanya dan
diketahuinya takdir tersebut. Karena itu pula dapat dikatakan tanpa takdir
tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi ikhtiar pada manusia
meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna/berlaku. Bagi orang-orang gila dan
yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan hukum-hukum penciptaan untuk
membuat suatu teknologi apapun. Bagi mereka hukum-hukum syariat tak
diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi itu sendiri mengharuskan adanya
iktiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada alam dapat
dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa keadilan
Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya ikhtiar dan
takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak bermanfaat dan tidak berlaku,
sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan ikhtiar pada manusia, tiada
ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan ketiadaan kebebasan memustahilkan
terwujudnya kemerdekaan.
Kebebasan dan kemerdekaan tidaklah bermakna sama.
Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali pada manusia tetapi
sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas atau mendapatkan
kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti bukanlah sebagai tujuan akhir bagi
manusia. Sebab bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir maka kebebasan
menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak lagi berbeda
dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan kekanan dikarenakan
arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya merupakan syarat (mesti)
awal dalam menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan Tuhan) sebagai tujuan akhir
dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan.
Kebebasan individu bukan berarti kebebasan mutlak yang
mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang atau individu yang lain.
Sebab defenisi kebebasan itu tersebut adalah sistem etik yang hanya
menguntungkan orang - orang kuat dan mendeskreditkan orang-orang lemah. Ini
karena bagi orang kuat kebebasannya itu sendiri telah dapat membungkam
orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-orang lemah tidak memiliki
daya untuk membatasi kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya berlaku bagi
individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan kita
dibatasi oleh kebebasan orang lain karena kebebasan orang lain tersebut lebih
kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu tidaklah demikian.
Kebebasan individu berarti bahwa secara sosial dalam interaksinya dengan orang
lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secera spiritual ia tidak berada
dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan kekuatan dan
kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti kemampuan untuk tidak
memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas menindas
ketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini adalah satu
pengertian kemerdekaan manusia dan
keharusan universal.
BAB VI: INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Salah satu sifat khas manusia sebagai makhluk dan
karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia merupakan makhluk yang
diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan
kecenderungan alamiah dari jiwanya yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti
dipahami dan di letakkan pada porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang
pertama melahirkan perbedaan dan yang
kedua melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu
berarti membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan
(bukan pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu
(sebagai identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi
terbentuknya masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat,
individu-individu haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi,
dalam arti, saling membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna
masyarakat menjadi kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya
perbedaan-perbedaan di antara para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan,
memberi dan kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Di sisi lain kecenderungan manusia untuk hidup
bermasyarakat merupakan kecenderungan yang bersifat fitri. Ia tidak bedanya
hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang berkeinginan secara fitri
untuk membentuk sebuah keluarga. Jadi Ia membentuk masyarakat karena adanya
hubungan individu-individu yang terkait secara fitrah dan alamiah untuk
membentuk sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan sebuah keterpaksaan,
sebagimana beberapa individu berkumpul dikarenakan adanya serangan dari luar.
Bukan juga bedasarkan proses kesadaran sebagai langka terbaik dalam
memperlancarkan keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan
sepakat bekerja sama sebagai langka terbaik dalam mencapai tujuannya
masing-masing. Karena itu masyarakat didefenisikan sebagai adanya
kumpulan-kumpulan dari beberapa individu-individu secara fitri maupun suka dan
duka dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama adalah membetuk apa yang kita
sebut sebagai masyarakat. Kumpulan dari
sejumlah individu adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak
dalam mencapai cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa”
masyarakatnya. Karena itu selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial
(ikatan psikologis antara individu-individu), individu merupakan salah satu
unsur terbentuknya sebuah masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat
pun tidak ada.
Masyarakat itu sendiri merupakan senyawa sejati,
sebagaiman senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah jiwa, pikiran,
cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat kebudayaan. Jadi,
individu dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan) masing-masing dan
memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan. Walaupun begitu
eksistensi individu dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang
bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan kemanusiaannya
telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri.
Walaupun manusia memiliki kualitas-kualitas kesucian,
potensi tersebut dapat saja tidak teraktual secara sempurna dikarenakan adanya
kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu yang dapat saja merugikan
orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu ini mulai teraktual di kala
interaksi antara individu dengan individu lain dalam kaitannya dengan bumi
(sumber harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja berkembang dalam bentuk
yang lebih besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah bangsa lain. Fenomena ini
dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian alam. Dengan demikian,
pertanggung-jawaban ini bagi setiap individu, selain bersifat individual juga
bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung-jawaban individual terjadi ketika sebuah
perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si pelaku (sebab aktif) dan
sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab akhir). Apabila dalam
perbuatan tersebut terdapat dimensi ketiga, yaitu sarana atau peluang yang
berikan untuk terjadinya perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab
material), maka tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi
Masyarakat adalah pihak yang memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan
membentuk sebab material. Ini berarti, individu memiliki andil besar dalam
mengubah wajah bumi atau mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang
sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain bahwa untuk menghadapi
ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah sistem sosial yang adil
yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan berdasarkan tauhid (Ketuhanan
Yang Maha Esa). Mengajarkan sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu
milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang
dititipkan dan diamanahkan kepadanya untuk mengatur dan mendistribusikan secara
adil. Kesadaran akan sakralitas dan kesucian sistem tersebut memberikan
implikasi kehambaan terhadap Tuhan. Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan
seperti itu maka interaksi antara individu dengan individu lainnya dalam
hubungannya terhadap alam akan berubah dari watak hubungan antara tuan/raja dan
budak menjadi hubungan antara hamba Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan
mengambil tugas dan peran masing-masing
berdasarkan kapasitas-kapasitas yang diberikan dalam menjaga, mengurus,
mengembangkan, mengelolah, mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu
berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang manusia (individu) diciptakan dan
ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul (wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah
di muka bumi (QS.2:30) untuk memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya
untuk mewujudkan sistem sosial.
BAB VII: KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Keadilan menjadi sebuah konsep abstrak yang sering
diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamnya mereka - mereka yang pernah
mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini menuntut
secara tegas perlu dilakukan redefenisi terhadap apa yang dimaksud dengan
keadilan.
Bila keadilan diartikan sebagai tercipta suatu
keseimbangan dan persamaan yang proporsional maka pemecahan permasalahan
keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan menemukan jawaban
terhadap sebab - sebab terjadinya ketidak adilan sosial dan ekonomi serta
bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil sehingga
terhindar dari terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas dalam
masyarakat.
Jelas terlihat dari problem yang dihadapi bahwa kasus
keadilan sosial dan ekonomi bukanlah merupakan wilayah garapan ilmu ilmiah
(positif). Karena masalah keadilan bukanlah fenomena empiris yang dapat diukur
secara kuantitatif. Namun ia merupakan konsep abstrak yang berkenaan dengan
aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena itu ia merupakan garapan filosofis
dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya mengapa dalam menjawab masalah diatas
setiap orang atau kelompok memiliki jawaban dan konsep yang berbeda sesuai
dengan ideologi, kandungan batinnya serta kapasitas pengetahuannya.
Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang berkenaan
dengan karakter dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia pada
dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya
diskriminasi serta tidak terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil
dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh baik masyarakat, pemerintah,
individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya aturan-aturan yang
menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini upaya menciptakan
keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan cara memberikan
kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang seluas-luasnya kepada
setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan orang lain,
meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan dan
kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan kebebasannya secara
sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya sosialisme yang didasarkan pada konsepnya
tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat bahwa penyebab terjadinya
diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga terciptanya kelas - kelas dalam
masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain semakin kaya
dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya kesadaran kolektif
dari kesadaran kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan sosial (bersama).
Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi, maka tidak ada cara
lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi mengatur atau merawat
dalam hal menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat - alat produksi
ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh anggota
masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama) yang dalam hal
ini diwakili oleh negara dengan cara menasionalisasikan alat-alat produksi
tersebut.
Adapun menurut Islam kepemilikan
pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan sebagaimana
yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya kepemilikan
pribadi yang semata-mata materealistik justru penyebab proses kehancuran sistem
kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring
dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang
sering disebut sebagai ego. Itulah
sebabnya mengapa ketika seluruh alat - alat produksi telah dinasionalisasikan
yang kemudian diamanahkan kepada negara yang nota bene adalah terdiri dari
individu - individu sebagai pengelolahnya kemudian berubah menjadi kapitalisme
atau borjuis - borjuis baru yang diktator dan menganggap diri mereka tuan (penguasa)
bagi unit-unit yang mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan
pribadi tidak dapat mengubah mentalitas manusia yang punya kecenderungan
egoistik.
Bagi Islam satu - satunya jalan yang dapat mengatasi
masalah ketidak adilan adalah dengan memberikan jaminan pendapatan tetap,
dengan kemungkinan mendapatkan lebih banyak serta mengubah konsepsi manusia
tentang manusia dan pandangan hidupnya dari semata-mata bersifat materialistik kekesadaran
teologis dan ekskatologis, tanpa memasung atau bahkan mematikan naluri
alamiahnya.
Adalah suatu kemustahilan disatu sisi ketika kesadaran
teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari pandangan dunia seseorang dan
disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan atau kepemilikan pribadinya
kemudian serta merta ia berubah dari individualis menjadi seorang pribadi yang sosialis
(bukan sosialisme).
Menurut Islam ego (kepentingan pribadi) merupakan suatu
kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia sebagai pendorong.
Kekuatan ini dapat mendorong manusia untuk melakukan hal yang diskriminatif,
serakah dan merusak tetapi ia juga dapat mendorong manusia untuk mencapai
kualitas spiritual yang paripurna (insan kamil). Karena itu Islam tidak
datang untuk membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun ia datang untuk
memupuk, membina dan mengarahkannya secara spiritual dengan suatu kesadaran
teologis (TAUHID) dan Ekskatologis (MAAD).
Bagi Islam penyebab terjadinya ketidakadilan sosial dan
ekonomi atau dengan kata lain penyebab terjadinya kelas-kelas dalam masyarakat
disebabkan oleh tidak adanya kesadaran tauhid. Hal ini dapat dilihat ketika al-Qur’an
menceritakan mental Fir’aun yang sewenang-wenang sehingga disatu sisi sebagai
penyebab terjadinya kelas-kelas (penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan menobatkan
dirinya menjadi Tuhan (QS.28:38-39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hai
ini Islam mengajarkan untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan
dalam Al- Quran yang artinya: ....tidak kita sembah Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Alla (QS.3:64).
Adapun di sisi lain
penyebab terjadinya ketidak
adilan ekonomi (yang miskin
semakin miskin dan sebaliknya) disebabkan tidak berjalannya sistem tauhid (pelaksanaan
syariat) karena itu kata al-Qur’an menegaskan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari
tuhan mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari langit atas mereka dan
dari bawah kaki mereka (QS.5:66) atau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman
dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit
dan bumi (QS.7:96) atau bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas
jalan itu (Agama Islam; melarang praktek riba, serta menganjurkan atau bahkan
mewajibkan khumus, Jis’ah, sedekah, infak, zakat dll), niscaya benar-benar kami
akan memberikan muniman kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak, QS.72:16).
Artinya menurut Islam bahwa prinsip dari hubungan khusus
antara bertindak sesuai dengan perintah-peritah Tuhan di satu sisi dengan
kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya, hubungan antara distribusi
yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa tidak akan terjadi
kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil dilaksanakan. Dengan
kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan dan meningkatkan
kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian inilah selanjutnya akan
melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai bentuk manifestasi dari
pengabdian serta kecintaan kita kepada Allah SWT.
Disamping itu, guna menegakkan nilai keadilan sosial dan
ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan yang cukup. Orang-orang yang
memiliki kualitas inilah yang layak memimpin masyarakat. Memimpin adalah
menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya dan
dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat
kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk yang terkandung
didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan, baik berupa
keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Dan hanya setelah terpenuhinya
pra-syarat inilah negara ideal sebagai dicita-citakan bersama (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur)
dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari kajian yang konprehensif dan
holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran rasional ideologi (syariat)
Islam yang telah mengajarkan akan persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk
diamalkan oleh setiap kaum muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor
produksi sosio-ekonomi dan pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih
bersifat spesifik menyangkut hal-hal yang memerlukan rincian, seperti
pemanfaatan lahan pertanian, penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat,
khumus (yakni mengeluarkan 20-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya yang dikelola
langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol masyarakat dan
negara yang berlandaskan pada prinsif-prinsif keadilan.
BAB VIII: SAINS ISLAM
Sains dalam sejarah perkembangan seringkali
dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan terhadap nilai-nilai budaya,
agama atau pandangan - pandangan tertentu suatu masyarakat. Asimilasi dan akulturasi inilah yang kemudian menjadi
bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani dan positivisme di
Eropa adalah contoh-contahnya.
Naturalisasi terhadap sains itu sendiri dilakukan sebab sains
diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi ia dapat mengembangkan suatu
masyarakat karena kemampuannya mengatasi masalah-masalah praktis dan prakmatis
manusia serta kemampuannya yang dapat merubah konstruk berfikir manusia itu sendiri
sehingga membawa mereka ke arah peradaban baru yang lebih maju, disisi lain dengan
kemampuan yang sama, ia juga memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau
merombak nilai-nilai budaya, agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya merupakan hasil sebuah naturalisasi
sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang sebagai kebenaran. Sains ini
(positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki watak atau karakter yang
bersifat materealistik yaitu sains yang menolak hal - hal yang bersifat
metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya dalam karakternya yang demikian
sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai
- nilai keagamaan lainnya.
Sehingga bukanlah hal yang berlebihan bila beberapa pemikir
muslim melakukan islamisasi sains terhadap sains-sains modern (sains
positivisme) sebagai sebuah bentuk keseriusan mereka dalam menjawab hal ini dan
sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains didunia Islam, sehingga
pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis (Teologi dan Ekskatologi)
dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari. Hasil dari upaya
islamisasi sains inilah yang kita sebut sains islam.
Islamisasi sains atau sains Islam dapat dimulai dengan
menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan epistimologinya yaitu dengan
membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan basis ontologinya serta
metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit) Islam itu sendiri, yakni
teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), serta Kenabiaan.
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an
atau hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan sains mestilah dihindari,
karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi dan universal, sementara
kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat temporer dan hanya benar dalam
lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga bersifat materealistik atau
positivistik.
Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan
berubahnya teori-teori sebelumnya dengan ditemukannya teori-teori baru. Dengan
demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya,
alau menjadi dipertanyakan relevansinya.
Begitupula islamisasi sains tidak dengan upaya
mendengungkan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga
generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya
manusia (SDM) muslim yang mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan
sains islam.
Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan
membuat klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan status dan basis
ontologinya, sebab ia merupakan basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam
menetapkan status ontologis meniscayakan perbedaan pada status epistimologi berikut
metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat pada epistimologi modern dengan
epistimologi yang telah dicanangkan oleh para filosof muslim yang telah
ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu sendiri.
Epistimologi barat berbasis pada status ontologi
materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi
ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik.
Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status
ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia tetapkan
pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam
mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi alam akal (objek-objek
metafisika).
Berdasarkan klasifikasi sains seperti ini, sains Islam menawarkan
beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status ontologinya, yaitu; intuisi
dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui objek-objek nonmateri
murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung, deduksi rasional untuk
mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek matematika
dan Induksi (Observasi dan eksperimen) untuk mengetahui objek-objek fisika.
Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang
secara niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh materi dan
gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi.
Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang
meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak.
Seperti aretimetika, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, ilmu
tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya.
Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara
niscaya terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom),
mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik).
Dalam klasifikasi sains islam karena status objek-objek
metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang paling
tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek
fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek
ontologi, maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi
dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains matematika.
RUJUKAN AL - QUR’AN
BAB II DASAR-DASAR
KEPERCAYAAN
- Al Qur’an Surah Al Ikhlas (112) : 1 - 4
- Al Qur’an Surah Al Baqarah (2) : 163
- Al Qur’an Surah Al Qashash (28) : 88
- Al Qur’an Al Baqarah (2) : 255
- Al Qur’an Al Baqarah (2) : 163
- Al Qur’an Surah Al Anbiya (21) : 108
- Al Qur’an Surah Al Mu’minuun (23) : 91 – 92
- Al Qur’an S. Al Anbiyaa’ (21) : 22
- Al Qur’an Surah An Nahl (16) : 51
BAB III HAKEKAT
PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI (MA’AD)
- Al Qur’an Surah Al A’raf (7) : 187
- Al Qur’an Surah Al Baqarah (2) : 48
- Al Qur’an Surah Al Baqarah (2) : 85
- Al Qur’an Surah Al Baqarah (2) : 165
- Al Qur’an Surah Ali Imran (3) : 55
- Al Qur’an Surah An Nisa (4) : 109
- Al Qur’an Surah Almaidah (5) : 14
BAB IV MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
1.
Al Qur’an Surah Al Baqarah
(2) : 30
2.
Al Qur’an Surah Al Ahzab
(33) : 21
3.
Al Qur’an Surah Al Qalam
(68) :4
4.
Al Qur’an Surah Al An’am
(6) : 112
BAB V KEMERDEKAAN
MANUSIA (IKHTIAR MANUSIA) DAN
KENISCAYAAN UNIVERSAL (TAQDIR ILAHI)
- Al Qur’an Surah Al Maaidah (5) : 66
- Al Qur’an Surah Al Qamar (54) : 49-50
- Al Qur’an Surah Ar Ra’d (13) : 11
- Al Qur’an Surah Al Jaatsiyah (45) : 2-3
- Al Qur’an Surah Al Hadiid (57) : 22
- Al Qur’an Surah Al An’aam (6) : 59
- Al Qur’an Surah At Thalaaq (65) : 3
- Al Qur’an Surah Al Hijr (15) : 21
- Al Qur’an Surah Ali Imran (3) : 154
- Al Qur’an Surah Al Qamar (54) : 49
- Al Qur’an Surah Ar R’d (13) : 11
- Al Qur’an Surah An Nahl (16) : 112
- Al Qur’an Surah Al Ankabuut (29) : 40
- Al Qur’an Surah Fush Shilat (41) : 46
- Al Qur’an Surah Al Insaan (76) : 3
- Al Qur’an Surah Ar Ruum (30) : 41
- Al Qur’an Surah Asy Syuura (42) : 20
- Al Qur’an Surah Al Israa’ (17) : 18-20
BAB VI INDIVIDU DAN MASYARAKAT
- Al Qur’an Surah Al Baqarah (2) : 30
- Al Qur’an Surah Al Israa’ (17) : 71
- Al Qur’an Surah Maryam (19) : 20
- Al Qur’an Surah Al Hijr (15) : 28
- Al Qur’an Surah Maryam (19) : 20
- Al Qur’an Surah Al Furqan (25) : 7
- Al Qur’an Surah Al Furqan (25) : 20
- Al Qur’an Surah Al Kahfi (18) : 110
- Al Qur’an Surah Ibrahim (14) : 11
- Al Qur’an Surah Al Ahzab (33) : 72
- Al Qur’an Surah Az Zariyat (51) : 56
- Al Qur’an Surah Al Insan (76) : 1-2
- Al Qur’an Surah Al Ankabut (29) : 49
- Al Qur’an Surah Al Mujadalat (58) : 11
- Al Qur’an Surah Al Hujarat (49) : 13
- Al Qur’an Surah Al Furqan (25) : 54
- Al Qur’an Surah As Zahruf (43) : 32
- Al Qur’an Surah Al A’raf (7) : 172
- Al Qur’an Surah Shoaf (38) : 72
- Al Qur’an Surah As Shoaffat (37) : 72
- Al Qur’an Surah At Taubah (9) : 112
- Al Qur’an Surah Al A’raf (7) : 29
- Al Qur’an Surah Al Israa’ (17) : 13-14
- Al Qur’an Surah Al Imran (3) : 104
- Al Qur’an Surah Al Jashiat (45) : 28-29
- Al Qur’an Surah Al Imran (3) : 110
- Al Qur’an Surah Al Baqarah (2) : 46
- Al Qur’an Surah Ghafar (40) : 17
- Al Qur’an Surah Al Imran (3) : 86-88
- Al Qur’an Surah Al Furqan (25) : 43
- Al Qur’an Surah Al Jashiat (45) : 23
- Al Qur’an Surah Al Alaq (96) : 6-7
- Al Qur’an Surah Al Qashas (28) : 38
- Al Qur’an Surah Al Qashas (28) : 4
- Al Qur’an Surah saba’ (34) : 31
- Al Qur’an Surah Al A’raf (7) : 127
- Al Qur’an Surah At Taubah (9) : 34
- Al Qur’an Surah Al Qashas (28) : 5
- Al Qur’an Surah Al Ahzab (33) : 6-7
- Al Qur’an Surah An Nisa’ (4) : 97
BAB VI KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
- Al Qur’an Surah Ali Imran (3) : 64
- Al Qur’an Surah Qashash (28) : 4
- Al Qur’an Surah Qashash (28) : 38
- Al Qur’an Surah Qashash (28) : 39
- Al Qur’an Surah Al Maaidah (5) : 66
- Al Qur’an Surah Al-A’raaf (7) : 96
- Al Qur’an Surah Al A’raaf (7) : 96
- Al Qur’an Surah Ali Imran (3) : 18
- Al Qur’an Surah Al Hadid (57) : 25
- Al Qur’an Surah Al Baqarah (2) : 124
- Al Qur’an Surah Al Anbiyaa’ (21) : 47
- Al Qur’an Surah Al Baqarah (2) : 282
- Al Qur’an Surah Al Maa-idah (5) : 95
- Al Qur’an Surah Ath Thalaaq (65) : 2
- Al Qur’an Surah At Taubah (9) : 70
- Al Qur’an Surah Ar Rahmaan (55) : 7
- Al Qur’an Surah Al An’aam (6) : 1
STEERING COMMITTEE
PENGAYAAN MATERI NDP
1. KOORDINATOR : HASBULLAH
2. ANGGOTA : EKA SASTRA
ANDRI
ALIMUDDIN
FAQIH
IKHSANUL
AMRI
DEDI
RUDI
S
DAFTAR TIM 8
(PERUMUS FINALISASI DRAFT PENGAYAAN NDP)
NAMA : Amy Maulana
TTL :
Pontianak 12 April 1981
ALAMAT CABANG :
Jln . Sumatra No. 24 Surabaya
ALAMAT RUMAH :
Jln . Jojoran baru No. 70 Surabaya
HP.081330025706
UTUSAN / CABANG :
Surabaya
JABATAN :
KU
NAMA : Gigih Widya Wirawan
TTL :
Bontang 06 Juni 1982
ALAMAT CABANG :
Jln. Angklung A/IA Kom. Preveeb Segiri. Samarinda . KALTIM.
Tlp. ( 0541 ) 7078435
ALAMAT RUMAH :
Jln . A. Yani No. 45 Bontang . KALTIM
HP. 08165422949. Tlp. ( 0548 )29338
UTUSAN / CABANG :
Samarinda
JABATAN :
PAO
NAMA : Andi Ashim Amir
TTL :
Makasar 24 Mei 1980
ALAMAT CABANG :
Jln. Bonto Lempang No. 39
ALAMAT RUMAH :
Jln . Tamalate III Stp. 21/155B (0411-881752)
UTUSAN / CABANG :
Makassar
JABATAN :
Pengurus LPL
NAMA : Sulaiman
TTL :
Pinrang 10 Pebruari 1982
ALAMAT CABANG :
Jln . Sultan Hasanuddin No. 193 Pinrang
Tlp. ( 0421 ) 921942 Hp 081524293839
ALAMAT RUMAH :
Jln . Mawar No. 26 Pinrang . Sulawesi
Selatan
Tlp. ( 0421 ) 924827
UTUSAN / CABANG :
Pinrang
JABATAN :
LPL
NAMA :
Abdul Rahman
TTL :
Tinambung 25 Agustus 1980
ALAMAT CABANG :
Jln . Kesehatan . Majene. SULSEL
ALAMAT RUMAH :
Jln . Belibis Lr. 04 Ds.Konje. Polmas
HP. 081342319138
UTUSAN / CABANG :
Polemaju
JABATAN :
PA
NAMA : Achmad Fauzi
TTL :
Malang 20
September 1981
ALAMAT CABANG :
Jln. Urip Sumoharjo 54 Kediri.
Jawa timur
ALAMAT RUMAH :
Jln. Nurul Muttaqin RT.06/05 Tlogowaru Kedung Kandang. Malang . 65133
Tlp.( 0341 ) 752812- Hp 081
UTUSAN / CABANG :
Kediri
JABATAN :
Litbang
NAMA : Halid Pegatong
TTL :
Ambon 17 July 1979
ALAMAT CABANG :
BTN Wesabbe Blok. C No. 62 Tamlanrea
Makassar
Tlp. ( 0411 ) 580317, Hp 081524255924
ALAMAT RUMAH :
Jln. Sahabat Lrg 2 No. 2
UTUSAN / CABANG :
Makasar Timur
JABATAN :
LPL
NAMA : Amrullah
TTL :
ALAMAT CABANG :
Hp 085239508817
ALAMAT RUMAH :
Kendari
UTUSAN / CABANG :
Kendari
JABATAN :
LPL
PESERTA SEMILOKA
PENGAYAAN MATERI NDP DI MATARAM
NO
|
NAMA
|
CABANG
|
1
|
Sugiarto
|
Denpasar
|
2
|
Farhan Syuhada
|
Kupang
|
3
|
Amin maulana
|
Surabaya
|
4
|
Gigih Widya Wirawan
|
Samarinda
|
5
|
Chairul Anam
|
Samarinda
|
6
|
Muh. Muslih
|
Malang
|
7
|
Jasriadi
|
Selong
|
8
|
Imron Hanafi
|
Surabaya
|
9
|
Khairil
|
Makassar
|
10
|
Wijayanto Wisnu Aji
|
Malang
|
11
|
Hasnawati
|
Gowa Raya
|
12
|
Marlenny
|
Samarinda
|
13
|
Feri Gunawan
|
Malang
|
14
|
Nanang Wahyudi
|
Jombang
|
15
|
Taryadi
|
Jombang
|
16
|
Sulaiman
|
Pinrang
|
17
|
Buhari
|
Jember
|
18
|
Halid Pegatong
|
Makassar Timur
|
19
|
Zahroni Muhima
|
Selong
|
20
|
Junaidi Gani
|
Pemekasan
|
21
|
Agus
|
Pemekasan
|
22
|
Roni
|
Pemekasan
|
23
|
Edi Rahman Hasan
|
Kendari
|
24
|
Tasrif
|
Bima
|
25
|
Ruslin
|
Bima
|
26
|
Ilham Yahya
|
Selong
|
27
|
Ria Suhardiman
|
Singaraja
|
28
|
Lewa Karma
|
Singaraja
|
29
|
A. Ashim Amir
|
Makassar
|
30
|
M.Faisal
|
Mataram
|
31
|
Suyasmad
|
Pasuruan
|
32
|
Purnomo Satrio
|
Malang
|
33
|
Munir Sara
|
|
34
|
Abd.Rahman
|
Polemaju
|
35
|
Heriman
|
Bima
|
36
|
Prihcahyo
|
Denpasar
|
37
|
Supriayanto
|
Badko Jatim
|
38
|
Amrullah
|
Kendari
|
39
|
Irfan Supu
|
Palu
|
40
|
Ahmad Fauzi
|
Kediri
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar