Jumat, 18 September 2015

CERPEN, RIDHOMU IBU



Ridhomu Ibu
Oleh: Rizki Khulaifatul Janah




“Gimana kuliahmu?” tanya ibu selepas makan malam.
“Biasa aja, nggak ada yang istimewa” jawabku apa adanya.
“kamu masih belum terima keadaan ya? Bidang studi yang kamu ambil itu bagus lho, soalnya guru Matematika itu digunakan oleh semua tingkatan, masa depanmu itu nggak buruk”
“araa”
“apa itu ara?”
“bahasa korea ma, artinya aku tahu”


 
“Intan, ke musholla yuk!” ajakku.
“males Zah, mushollanya jauh” jawabnya.
“berarti lu nggak sholat?”
“ntar aku jama’ dirumah, lagian bentar lagi dosennya masuk”
“ahh, ya udah deh, gw pergi sendiri aja”
Wahhh.. apakah para mahasiswa sudah menganggap dosen lebih hebat daripada Allah?? Tidak sholat biasa, tapi takut telat rasanya luar biasa. Ckckck..

Setelah sholat, aku buru-buru keluar musholla, mengingat sebentar lagi atau mungkin dosenku telah masuk. Baru saja aku hendak menyetar motor, aku dengar suara tertawa. Ku lihat Rani, Imam, dan teman-teman lainnya tertawa, entah apa yang mereka bicarakan. Ada rasa sedikit cemburu dengan hal ini. Daripada mataku basah, buru-buru aku menyetar motor lalu kembali ke ruang kuliahku.
Sesampainya di ruang kuliah, ku lihat pak dosen sudah masuk ruang kuliah.
“maaf pak, saya terlambat, saya habis sholat pak”
Kemudian, aku langsung menuju bangku yang masih kosong. Dosenku telah menyajikan materi tentang integral trigonometri.. materi yang menjemuhkan, susah, rumit, rumusnya banyak. Siang-siang, panas, belajar integral, trigonometri pula.. appeessss bangetd..

Entah hanya teman ataukah memang ada something, Rani dan Imam sepertinya semakin dekat. Mereka diskusi bareng, satu team waktu lomba debat, bahkan sering pulang bareng.
“ciiee,, cieee” godaku melalui pesan singkat.
“apaan sih Zah??” Rani membalas pesanku.
“kayaknya, ada yang udah punya pacar nih.??”
“maksud lo apa?”
“Imam.. lo pacaran sama dia, kan? Gue sering lihat lo barengan sama dia”
“ahahaha, lo cemburu ?? gue nggak pacaran sama dia, kami cuman teman, lagian dalam Islam kan tidak diperbolehka berpacaran.”
Jawabannya memang begitu, tapi hati orang siapa yang tahu?? Setelah obrolan itu, aku makin tak bisa tenang. Biasanya, orang yang mengaku tak berpacaran, tapi ada ikatan tersembunyi yang tak terlihat, biasanya justru ada apa-apa. Entah kenapa aku marah, aku marah yang rasanya seluruh hatiku hanya diisi oleh kemarahan. Kemarahan ini membuatku tak berniat melakukan apapun.
 “Zahra, kamu nggak belajar malah tidur, nanti nilai-nilaimu jelek lo.” Kata ibu yang telah masuk ke kamarku.
“besok minggu, bu. Zahra lagi nggak niat.”
“kok belajar pakai niat-niatan segala?? Memangnya nanti dosenmu ngasih kamu nilai pakai niat juga?? Ayo belajar, jangan jadi anak yang malas.”
“aku capek, percuma aku belajar kalau hati aku lagi nggak niat, yang ada ilmunya nggak masuk.” Jawabku setengah membentak dan menangis.
“kamu nangis??”
Aku tak menjawab, hanya sesenggukan yang terdengar.
“kamu kenapa??”
“ini semua karena bapak, coba saja kalau bapak tidak sakit darah tinggi, bapak nggak merokok, tentunya kita punya banyak uang, dan aku bisa masuk jurusan kedokteran atau hubungan inernasional. Pastinya aku takkan masuk di program studi pendidikan matematika. Pastinya aku takkan takut dalam mengambil keputusanku untuk melanjutkan pendidikan.”
“kok malah salahin bapak? Itu sudah takdir kamu berada disana. Kenapa tiba-tiba kamu jadi seperti ini lagi??”
“aku iri! aku iri sama Rani bu! dia bisa masuk jurusan HI, teman-temannya keren, kegiatan luar kampusnya keren, musholla kampus dekat dengan gedung fakultasnya, aku iri bu! Apa yang ada dalam mimpiku, semuanya menjadi kenyataan dalam hidupnya.”
“kamu tidak perlu iri, kalau kamu sekolah dengan baik, pasti kamu juga berhasil.”


 
 Sudah kuputuskan aku akan mengikuti tes SBMPTN tahun ini secara diam-diam. Aku memilih jurusan arsitektur, pendidikan kedokteran, dan psikologi. Namun, ternyata aku ... AKU TIDAK DITERIMA. Tapi, aku tak patah semangat. Kuputuskan, aku akan ikut tes mandiri di kampusku dengan mengambil pilihan yang sama.
Hari seleksipun tiba...
“bu, Zahra pergi dulu ya, Assalamu’alaikum”
“wa’alaikum salam, memangnya kamu mau kemana?”
“ada deh”
       Pukul 07.30 WIB, aku masih memiliki waktu 1 jam lagi sebelum ujian dimulai.  Dengan membaca basmallah, aku bersiap berangkat ke kampus.
Ciiiitttttt... brakkk....

       Kok aku ada dikamar? Bukannya aku tadi dijalan? Aku merasa kepalaku diperban dan kakiku linu.
       “Zahra, tadi kamu kecelakaan. Alhamdulillah, kebetulan Rani tadi lewat situ. Dia lihat kamu pingsang di pinggir jalan, jadi dia bawa kamu pulang pakai mobil temannya. Kamu mau dibawa ke tukang urut?”
       “nggak usah bu, nanti juga baikan sendiri. Ini cuman lecet, nggak parah kok bu”
       “ya sudah kalau kamu nggak mau. Memangnya tadi kamu mau kemana?”
       “aku.. aku mau ke kampus bu, untuk ikut seleksi mandiri, sebelumnya aku juga sudah ikut SBMPTN, tapi aku gagal bu”
       “ini sudah kehendak Allah nak. Ini berarti Allah ridho kamu kuliah di pendidikan matematika.”
       “iya bu, sekarang aku sadar.. ridhomu bu itu sama dengan ridho Allah
       “bukan ibu pelit, tapi memang ibu nggak punya banyak uang. Allah tahu seberapa besar kemampuan ekonomi ibu dan kemampuan otakmu nak. Belajarlah untuk bersyukur. Kalau kamu bersyukur, kamu pasti bahagia.”

4 tahun kemudian
       “bu, alhamdulillah aku diterima jadi PNS”
       “alhamdulillah nak. Alhamdulillah, segala pujian hanya untuk-Mu Ya Rabb” terlihat ada genangan air mata ibu, setelah mendengar kabar gembira ini.
       Alhamdulillah, dengan mengikuti kata-kata ibu, aku bisa  menjadi anak yang bisa dibanggakan dan tidak menjadi benalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar