Ridhomu
Ibu
Oleh: Rizki Khulaifatul Janah
“Gimana kuliahmu?” tanya ibu selepas makan malam.
“Biasa aja, nggak ada yang istimewa” jawabku apa
adanya.
“kamu masih belum terima keadaan ya? Bidang studi
yang kamu ambil itu bagus lho, soalnya guru Matematika itu digunakan oleh semua
tingkatan, masa depanmu itu nggak buruk”
“araa”
“apa itu ara?”
“bahasa korea ma,
artinya aku tahu”
![]() |
“Intan, ke musholla yuk!” ajakku.
“males Zah, mushollanya jauh” jawabnya.
“berarti lu nggak sholat?”
“ntar aku jama’ dirumah, lagian bentar lagi dosennya
masuk”
“ahh, ya udah deh, gw pergi sendiri aja”
Wahhh.. apakah para mahasiswa sudah menganggap dosen
lebih hebat daripada Allah?? Tidak sholat biasa, tapi takut telat rasanya luar
biasa. Ckckck..
Setelah sholat, aku buru-buru keluar musholla,
mengingat sebentar lagi atau mungkin dosenku telah masuk. Baru saja aku hendak
menyetar motor, aku dengar suara tertawa. Ku lihat Rani, Imam, dan teman-teman
lainnya tertawa, entah apa yang mereka bicarakan. Ada rasa sedikit cemburu
dengan hal ini. Daripada mataku basah, buru-buru aku menyetar motor lalu
kembali ke ruang kuliahku.
Sesampainya
di ruang kuliah, ku lihat pak dosen sudah masuk ruang kuliah.
|
“maaf pak, saya
terlambat, saya habis sholat pak”

|
Entah hanya
teman ataukah memang ada something, Rani dan Imam sepertinya semakin
dekat. Mereka diskusi bareng, satu team waktu lomba debat, bahkan sering pulang
bareng.
“ciiee,,
cieee” godaku melalui pesan singkat.
“apaan
sih Zah??” Rani membalas pesanku.
“kayaknya,
ada yang udah punya pacar nih.??”
“maksud
lo apa?”
“Imam..
lo pacaran sama dia, kan? Gue sering lihat lo barengan sama dia”
“ahahaha,
lo cemburu ?? gue nggak pacaran sama dia, kami cuman teman, lagian dalam Islam
kan tidak diperbolehka berpacaran.”
Jawabannya memang begitu, tapi hati orang siapa yang
tahu?? Setelah obrolan itu, aku makin tak bisa tenang. Biasanya, orang yang
mengaku tak berpacaran, tapi ada ikatan tersembunyi yang tak terlihat, biasanya
justru ada apa-apa. Entah kenapa aku marah, aku marah yang rasanya seluruh
hatiku hanya diisi oleh kemarahan. Kemarahan ini membuatku tak berniat
melakukan apapun.
“Zahra, kamu
nggak belajar malah tidur, nanti nilai-nilaimu jelek lo.” Kata ibu yang telah
masuk ke kamarku.
“besok minggu, bu. Zahra lagi nggak niat.”
“kok belajar pakai niat-niatan segala?? Memangnya
nanti dosenmu ngasih kamu nilai pakai niat juga?? Ayo belajar, jangan jadi anak
yang malas.”
“aku capek, percuma aku belajar kalau hati aku lagi
nggak niat, yang ada ilmunya nggak masuk.” Jawabku setengah membentak dan
menangis.
“kamu nangis??”
Aku tak menjawab, hanya sesenggukan yang terdengar.
“kamu kenapa??”
“ini semua karena bapak, coba saja kalau bapak tidak
sakit darah tinggi, bapak nggak merokok, tentunya kita punya banyak uang, dan aku
bisa masuk jurusan kedokteran atau hubungan inernasional. Pastinya aku takkan
masuk di program studi pendidikan matematika. Pastinya aku takkan takut dalam
mengambil keputusanku untuk melanjutkan pendidikan.”
“kok malah salahin bapak? Itu sudah takdir kamu
berada disana. Kenapa tiba-tiba kamu jadi seperti ini lagi??”
“aku iri! aku iri sama Rani bu! dia bisa masuk
jurusan HI, teman-temannya keren, kegiatan luar kampusnya keren, musholla
kampus dekat dengan gedung fakultasnya, aku iri bu! Apa yang ada dalam mimpiku,
semuanya menjadi kenyataan dalam hidupnya.”
“kamu tidak perlu iri, kalau kamu sekolah dengan
baik, pasti kamu juga berhasil.”
![]() |
Sudah
kuputuskan aku akan mengikuti tes SBMPTN tahun ini secara diam-diam. Aku
memilih jurusan arsitektur, pendidikan kedokteran, dan psikologi. Namun,
ternyata aku ... AKU TIDAK DITERIMA. Tapi, aku tak patah semangat. Kuputuskan,
aku akan ikut tes mandiri di kampusku dengan mengambil pilihan yang sama.
Hari seleksipun
tiba...
“bu,
Zahra pergi dulu ya, Assalamu’alaikum”
“wa’alaikum
salam, memangnya kamu mau kemana?”
“ada
deh”
Pukul
07.30 WIB, aku masih memiliki waktu 1 jam lagi sebelum ujian dimulai. Dengan membaca basmallah, aku bersiap
berangkat ke kampus.

Kok aku ada dikamar? Bukannya aku tadi
dijalan? Aku merasa kepalaku diperban dan kakiku
linu.
“Zahra, tadi kamu kecelakaan.
Alhamdulillah, kebetulan Rani tadi lewat situ. Dia lihat kamu pingsang di
pinggir jalan, jadi dia bawa kamu pulang pakai mobil temannya. Kamu mau dibawa
ke tukang urut?”
“nggak usah bu, nanti juga baikan
sendiri. Ini cuman lecet, nggak parah kok bu”
“ya sudah kalau kamu nggak mau. Memangnya
tadi kamu mau kemana?”
“aku.. aku mau ke kampus bu, untuk ikut
seleksi mandiri, sebelumnya aku juga sudah ikut SBMPTN, tapi aku gagal bu”
“ini sudah kehendak Allah nak. Ini
berarti Allah ridho kamu kuliah di pendidikan matematika.”
“iya bu, sekarang aku sadar.. ridhomu
bu itu sama dengan ridho Allah”
“bukan ibu pelit, tapi memang ibu nggak
punya banyak uang. Allah tahu seberapa besar kemampuan ekonomi ibu dan
kemampuan otakmu nak. Belajarlah untuk bersyukur. Kalau kamu bersyukur, kamu
pasti bahagia.”
4 tahun kemudian
“bu,
alhamdulillah aku diterima jadi PNS”
“alhamdulillah nak. Alhamdulillah, segala
pujian hanya untuk-Mu Ya Rabb” terlihat ada genangan air mata ibu, setelah
mendengar kabar gembira ini.
Alhamdulillah, dengan mengikuti kata-kata
ibu, aku bisa menjadi anak yang bisa
dibanggakan dan tidak menjadi benalu.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar