Rabu, 30 September 2015

Logo HMI























PEREMPUAN SEBAGAI MADRASAH PERADABAN




“PEREMPUAN SEBAGAI MADRASAH PERADABAN
OLEH :
SAHRIL ABDULLAH (Sekertaris Umum Komisariat Kipma Undana)

Seorang Pujangga berkata, “Seorang ibu ibarat madrasah, apabila kamu disiapkan dengan baik, berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya.”.Demikianlah, pada dasarnya perempuan dituntut untuk berperan dalam peradaban bangsa. Tulang rusuk bengkok ini tidak diciptakan untuk hanya bermanja-manja ataupun sebagai penghias dunia maskulin lelaki layaknya gula-gula yang manis rasanya sebagai kudapan penyenang lidah. Visi mulianya, telah jelas jika wanita itu memahaminya. Apa yang sudah kita kenal bahwa “Di balik keberhasilan seorang pembesar, ada perempuan di sisinya.”
Begitulah perempuan seharusnya berkiprah, bahwa nilainya bukan hanya pada kecantikan ragawinya namun lebih kepada perangkat lunak yang ada di dalamnya. Adapun kecantikan ragawi seorang wanita hanya sebagai pelengkap dan bukan merupakan unsur pokok dalam dirinya terkait visi mulia kehidupannya. Karena, setiap perempuan bisa jadi merona sepanjang masa dengan rangkaian kerja nyata dalam rangka mewujudkan visi mulianya. Sebaliknya bisa menjadi hina karena perspektifnya sendiri.
Satu jiwa perempuan turut membangun peradaban bangsa. Seringkali perempuan meremehkan peran besar itu karena ketidaktahuannya ataupun pula karena maraknya pengaburan peran wanita yang dihembuskan oleh opini publik dengan gaya hidup yang jauh dari petunjuk yang lurus. Opini yang bisa jadi ekstrim membatasi wanita atau bahkan memberikan kebebasan yang berlebihan pada laku perempuan dalam kiprahnya.
Yang menjadi pertanyaan besar kita kaum perempuan adalah Bagaimanakah petunjuk yang lurus itu didapatkan agar perempuan tidak terombang-ambing di antara perang opini tersebut? Jika tidak memperoleh pendidikan yang matang tentang perannya, bagaimana mungkin perempuan tidak akan tergerus oleh zamannya?
Masalah terkait dengan wanita sangatlah beragam. Mulai dari bagaimana secara fisik mereka berpenampilan hingga pandangan terhadap pilihan hidupnya. Bolehkah mereka mengaktualisasikan diri nya dalam majelis-majelis di luar rumah atau berada di rumah adalah yang utama bagi mereka? Nash-nash terkait dengannya sebetulnya telah dijelaskan secara gamblang oleh syariat yang tergambar pada generasi emas, generasi Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Seperti firman Allah SWT, yang artinya:
Sesunguhnya laki–laki dan perempauan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang sabar. Laki- laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya , laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah ,Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”(Q.s.An-Nisaa’:32)
Yang perlu kita ingat pula, di balik peran besar wanita juga terdapat sisi lainnya bahwa wanita adalah sumber fitnah yang besar bagi kaum lelaki. Dengan segala aspek yang menarik pada diri wanita, bisa jadi kemudharatan banyak dimunculkan.
Bisa jadi suatu kaum meniru nilai-nilai yang digunakan oleh masyarakat Barat yang lebih condong terhadap kebebasan yang kebalablasan sebagai reaksi atas kaum yang begitu ekstrim meniru timur dimana sangat konservatif termasuk masalah urusan kaum wanita. Maka, keduanya adalah sama-sama menjadi tawanan zaman, yakni zaman kuno dan zaman modern. Sementara, yang dituntut dari kita hanyalah tunduk dan patuh kepada petunjuk dan bimbingan dienul haq yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Karena itu, yang harus diambil adalah sikap yang mencerminkan sifat atau karakter pertengahan Islam yang tidak keterlaluan dan tidak pula menyepelekan suatu masalah. Tidak melebihi, dan tidak pula mengurangi. Selanjutnya, permasalahan berkembang tentang peran bagaimana yang akan dilalui wanita sebagai pembangun peradaban. Bahwa ia bisa menjadi sosok ibu, pendamping seorang laki-laki, atau guru bagi perempuan yang lain. Kesemuanya kemudian terangkum dalam watak dominan wanita yang kemudian konsekuensinya adalah bila hasil didikan peradabannya baik maka harum namanya, namun bila yang di didiknya memilih jalan yang salah maka tercorenglah nama baik perempuan sabagai madrasah peradaban.
Firman Allah : ....yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (Q.S. An Nahl:97)
Ayat tersebut di atas mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan kedudukan antar laki-laki dan perempuan di sisi Allah selain amal saleh mereka. Meskipun demikian, tetap saja terdapat perbedaan medan amal antara laki-laki dan perempuan karena karakteristik keduanya pun berbeda.


HMI UNTUK UMMAT DAN BANGSA



HMI UNTUK UMMAT DAN BANGSA
Oleh Syawaludin Muslimin *)
Bila kita sepintas menggunakan produk ide kita untuk kembali menelusuri ruang dan waktu menuju awal sejarah berdirinya HMI, yang lahir ditengah hiruk pikuk perjuangan mempertahankan Negara Indonesia saat itu. HMIyang merupakan hasil dari keresahan batin yang dirasakan oleh Ayahanda Lafran Pane dan teman-temannya, terhadap situasi dan kondisi masyarakat dan bangsa yang kian terpuruk, kodisi dimana masyarakat yang juga turut merasakan dampak dari pergelutan ideologi yang dilakukan oleh sekelompok penguasa, mahasiswa dan pemuda yang juga sedang dipengaruhi oleh aliran pemikiran dunia yang pada akhirnya berimbas pada terkikisnya moralitas kemanusiaan dan keagamaan, maka kita akan menemukan bagaimana khittah perjuangan HMI yang sesungguhnya dengan niat yang begitu suci, dengan tujuan besar untuk merubah paradigma berpikir dan tindakan masyarakat yang sedemikian terpuruk.
Secara historis perjalanan panjang dalam sejarah bangsa ini tidak terlepas dari peran penting HMI sebagai organisasi yang menghimpun para intelektual muda islam di seluruh indonesia, HMI menapakan kakinya untuk membina mental para intelektual muda yang pada saat itu telah jauh meninggalkan nilai-nilai agama. Sampai pada akhirnya sebongkah kalimat pun keluar dari rongga mulut seorang panglima perang yakni Jendral Sudirman, yang menyatakan singkatan lain dari HMI yaitu “Harapan Masyarakat Indonesia”. Hal ini karena HMI dengan semangat juangnya yang tinggi ingin meleburkan konflik ideologi yang merebak di tengah kaum muda, masyarakat dan bangsa indonesia dan mengembalikannya pada rel-rel yang sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. HMI sampai sejauh ini karena begitu besar semangat juang para kader HMI saat itu dengan segala bentuk keberpihakan terhadap ummat dan bangsa, sehingga dikatakan bahwa kader HMI merupakan kader ummat kader bangsa.Niat suci perjuangan HMI saat itu berangkat dari respon batin para kader HMI yang begitu kuat untuk mengawal perjalanan bangsa Indonesia, agar mampu menerobos masuk ke dalam ruang-ruang kemerdekaan yang hampa tanpa ada seorangpun di dalamnya.
Namun apa yang terjadi dengan kader HMI hari ini? Apakah setiap kader HMI masih memiliki penglihatan yang luas, yang mampu menerobos ruang-ruang kelam yang ada di bangsa ini?? Apakah setiap kader HMI masih memiliki daya penciuman yang tajam, yang mampu melacak segala macam penindasan-penindasan yang terjadi di negeri ini?? Apakah kader HMI saat ini masih memiliki pendengaran yang mampu mendengar rintih sendu yang dilantunkan negeri ini?? Apakah kader HMI saat ini masih memiliki taring yang buas, yang siap menerkam pemimpin-pemimpin bangsa yang tidak bertanggung jawab?? Apakah kader HMI saat ini masih memiliki otot-otot tangan yang kokoh dan kuat, sehingga ia mampu menggenggam bangsa ini dalam satu kesatuan yang utuh?? Apakah kader HMI hari ini masih memiliki telapak-telapak kaki yang senantiasa melangkah maju untuk menendang para penguasa bejat yang berdiam di negeri ini?
Ataukah malah sebaliknya, daya penglihatan setiap kader HMI sudah tak berfungsi, penciumannya malah digunakan untuk melacak kepentingan-kepentingan pribadi, pendengarannya telah ditutupi suara bising yang dihadirkan olehnya sendiri, taring yang dikenal buas telah rapuh seiring perputaran cosmos, otot tangannya melemah karena memikul kepentingan yang begitu banyaknya, dan telapak kakinya malah digunakan untuk berlari mencari perlindungan dibawah penguasa. Sungguh hal yang sangat bertentangan dengan tujuan HMI didirikan. Seharusnya ini menjadi cambuk bagi setiap kita yang mengaku seorang kader HMI.
Sangat naif memang ketika kita benturkan sejarah awal berdirinya HMI dengan realita yang terjadi saat ini. Mulai pada saat runtuhnya rezim orde baru yang kemudian memperkecil jarak antara HMI dengan kekuasaan dengan pengangkatan beberapa alumni untuk menduduki jabatan-jabatan struktural kenegaraan. Hal itu tidak kemudian dimanfaatkan oleh kader HMI sebagai motivasi untuk terus maju namun malah mengarahkan lokus Kader HMI saat ini untuk cenderung bersifat pragmatis, kader HMI menggunakan segenap perhatiannyauntuk fokus pada orientasi struktural dan kurang mngindahkan orientasi cultural himpunan. Bagaimana alat-alat pengindera yang ada pada diri kader mampu melakukan fungsinya dengan baik, kalau pada pikirannya hanya terfokus untuk bagaimana nama dan fotonya bisa terpampang elok di bagan struktur kepengurusan yang biasanya turut menghiasi sekretariat HMI??sedangkan ia tak pernah sedikitpun berusaha mengasah kemampuan intelektualnya.Padahal sudah menjadi suatu keharusan ketika seorang yang menyatakan dirinya kader maka ia pun harus mampu menjalani kedua orientasi itu secara beriringan. Ini yang kemudian membuat daya kekritisan setiap kader melemah. Jiwa progresif dan revolusioner yang biasanya tumbuh subur pada diri setiap kader HMI seakan membusuk digerogoti hama yang menjelma dalam sifat pragmatisme dan budaya-budaya hedonis.
Seharusnya sejarah HMI yang begitu luar biasa mampu menjadi pil perangsang semangat dalam jiwa setiap kader himpunan, bukan kemudian dijadikan lagu syahdu oleh kader-kader HMI yang senantiasa mengantarkan kader HMI dikala terlelap dengan angan-angan yang tak dibarengi dengan sebuah tindakan nyata . Kader HMI saat ini malah menggembor-gomborkan nama besar kader HMI pada masa yang telah lalu, namun ia seakan amnesia dengan dirinya sendiri. ia tidak kemudian memikirkan apa yang telah ia lakukan untuk ummat dan bangsa malah menyibukan dirinya untuk memikirkan apa yang telah senior-seniornya lakukan pada masa jayanya HMI dan membuat HMI saat ini seolah-olah dihantam badai yang begitu derasnya sehingga iapun tak mampu melangkah maju barang selangkahpun, malah semakin mundur karena tak kuat menahan badai tersebut.
Masalah-masalah seperti ini seharusnya menjadi pukulan telak bagi kita setiap kader HMI dan menjadikan ini sebagai bahan refleksi bagi kita untuk mencari solusinya. menurut penulis, fungsi HMI yang tertera dalam pasal ke 8 anggaran dasar HMI yakni sebagai organisasi pengkaderan haruslah memainkan peranan penting ketika kita ingin merubah paradigma struktural yang merebak hampir di seluruh alam pemikiran setiap kader HMI saat ini. Pengkaderan di HMI khususnya pada tingkat komisariat yakni LK I seharusnya mampu memberi doktrin nilai yang menjadi dasar perjuangan HMI yang sesungguhnya. fungsi pengkaderan HMI kemudian tidaklah cukup sampai disini. Para pengurus HMI komisariat ataupun cabang juga harus mampu mengawal seluruh proses yang dilakukan oleh calon kader HMI dengan penyeimbangan orientasi, bukan hanya menekankan pada salah satu orientasi tertentu, semisal menekankan pada calon kader untuk fokus pada orientasi struktural dan sejujurnya itulah yang sering terjadi di dalam himpunan ini. Padahal sejatinya anggota pada tingkatan komisariat belumlah pantas untuk kita perkenalkan dengan sistem politik dalam himpunan ini. Menurut penulis, pada tingkatan komisariat itu seharusnya lebih ditekankan bagaimana setiap anggota untuk mengasah intelektual dan emosionalnya dengan meningkatkan budaya-budaya membaca, manulis ataupun kajian-kajian sehingga daya intelektual dan kekritisan setiap kader terus terasah.
Tidak ada kata terlambat untuk sebuah perubahan kearah yang lebih baik. Jangan lagi biarkan mata kita dibutakan, penciuman kita dicemari, pendengaran kita disumbat, taring kita dikikis, tangan kita dipenuhi kepentingan, dan telapak kaki kita membuat kita seakan menjelma menjadi seorang pengecut. Sudah saatnya kita memulai perjuangan yang sungguh-sungguh dengan dua komitmen di dalam HMI yakni komitmen keummatan dan kebangsaan, melalui proses yang utuh di dalam himpunan ini, tanpa intimidasi terhadap salah satunya, sehingga grand desain tujuan HMI yang tersurat di dalam Pasal 4 anggaran dasar HMI tidak hanya sekedar menjadi penghias buku besar HMI, namun mampu kita realisasikan dalam kehidupan nyata. Dan ini menjadi usaha kita bersama sehingga nama Himpunan ini mampu mencapai puncaknya kembali. YAKUSA !!!
*) Ketua Umum HMI Komisariat KIPMA UNDANA


ketum hmi cabang kupang saat membawakan materi di upgrading kipma

Jumat, 18 September 2015

ARTIKEL,Bulan Ramadhan Bulan Sosial



Bulan Ramadhan Bulan Sosial
Oleh :
Kifli A. Naesaku
Staf Ketua HMI FKIP Undana

Ramadhan adalah bulan ke sembilan dalam kalender Islam (hijriyah). Ramadhan artinya pembakaran. Selain dikarenakan iklim yang panas di wilayah arab dan sekitarnya pada bulan ini sehingga dikatakan ramadhan bulan pembakaran (secara lahiriah), bulan ramadhan juga dikatakan bulan pembakaran karena pada bulan ini orang-orang yang menjaga puasanya selama sebulan penuh, dosa-dosanya akan dibakar hingga habis yang pada akhirnya di tanggal satu syawal orang-orang tersebut akan keluar seperti bayi yang baru dilahirkan karena terbebas dari dosa yang lalu.
Ada sebuah fenomena yang menarik di dalam bulan ini, terutama di Indonesia yang tidak terjadi atau ditemukan di bulan lainnya.  Yakni, fenomena keakraban sosial atau kekeluargaan, begitu kuat yang tadinya di bulan lain sangat sulit kitas jumpai. Ini dapat kita lihat dari beberapa hal, diantaranya :
Pertama, jumlah jamaah yang ikut shalat di masjid bertambah. Baik itu shalat subuh, dhuhur, ashar, magrib, isya dan puncaknya pada shalat tarwih dan witir bahkan pada saat ini di beberapa masjid yang kapasitasnya kecil terpaksa menggunakan halamnya untuk shalat. Interaksi sosial tercipta ketika jamaah shalat saling bersalam sapa satu sama lain bahkan saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Banyaknya jamaah dan tiap shaf shalat yang diciptakan sebagai lambang persatuan dan kekuatan umat yang kokoh adalah salah satu contoh penghilangan ego individu saat melebur dalam komunitas sosial.
Kedua, berbuka puasa bersama. Sudah menjadi salah satu kebiasaan umat Islam di Indonesia mengadakan buka puasa bersama baik itu di masjid-masjid, tempat kerja, panti-panti asuhan maupun di tempat-tempat umum lainnnya. Sekelompok orang mempersiapkan menu berbuka untuk berbuka bersama. Hal ini menciptakan nuansa kekeluargaan yang terjalin di antara kaum muslimin. Adanya rasa ingin memberi dan membagi apa yang dimiliki untuk dinikmati bersama setelah sehari menjalankan ibadah puasa adalah wujud kepekaan/kepeduian sosial yang besar antar sesama.
Ketiga, tradisi tadarusan. Tadarus menjadi rutinitas tiap datangnya ramadhan, selain puasa, dan tarwih. Tadarus menjadi wadah saling membagi pemahaman membaca al-quran antara satu sama lain. Saling menegur ketika terjadi kesalahan membaca menunjukan adanya proses dan I’tikad baik untuk sama-sama mencapai kebenaran dan kebaikan bersama. Sebuah kebenaran dan kebaikan yang berdasarkan hukum-hukum bacaan alquran yang ada. Sebuah kebenaran dan kebaikan pula yang bersumber dari al-quran sebagai tuntunan hidup manusia dan rasulullah Muhammad sebagai uswatun hasanah. Selain tadarus sebagai lokus saling mengingatkan dalam hal kebenaran, tadarus juga menjadi wahana komunikasi yang sangat baik. Yang membaca bisa kita artikan orang yang sedang berbicara dan yang lainnya sebagai pendengar dan pengoreksi. Ini amatlah penting di dalam kehidupan sosial dimana kita perlu mendengarkan apa yang disampaikan orang lain, adalah sebuah bentuk komunikasi yang baik yang perlu diterapkan dalam hidup demi mencapai kerukunan bersama.
Selain tiga fenomena yang bersifat sunnah diatas sesungguhnya ramadhan juga menghadirkan ibadah wajib yang menjadi ruh dari bulan ramdhan yang memiliki dampak sosial begitu besar bahkan dari ibadah wajib ini pula terlahir tiga fenomena sunnah di atas.
Yakni, Puasa ramadhan. Puasa ramdhan adalah puasa wajib sebulan penuh bagi umat Islam selama tidak ada hal yang melarangnya berpuasa sesuai tuntunan syar’i.  Puasa bukanlah aktifitas ritual yang ditempatkan dalam doktrin formal yakni menahan makan, minum dan hal-hal lain yang membatalkannya sepanjang hari. Wilayah garapan puasa pada dasarnya memang merupaakan kewajiban individu kepada Tuhan, namun juga memiliki dampak sosial yang kuat. Ini dapat kita lihat dari beberapa hikmah dari ibadah puasa itu sendiri diantaranya sebagai berikut:
Pertama, Puasa mengajarkan kita untuk turut merasakan lapar dan dahaga fakir miskin di bulan-bulan lainnya. Bahkan bagi orang orang yang sudah lanjut usia sehingga tidak dapat menjalankan ibadah puasa diwajibkan baginya memberi makan fakir miskin.
Kedua, Puasa mengajarkan kita untuk mengendalikan emosi dan berjiwa sabar sehingga akan tercipta kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ketiga, Puasa juga mengajarkan kita senantiasa berlomba-lomba berbuat baik sehingga akan tercipta suatu tatanan kehidupan yang beradab dan bermatabat.
Keempat, Puasa menjadikan pribadi yang jujur, karena puasa merupakan suatu ibadah yang berdimensi kerahasiaan/keprivatan yang amat kuat antara sang hamba sang sang khalik. Boleh kita katakana puasa merupakan sarana pendidikaan tanggung jawab maka diperlukan sikap jujur dalam menjalankannya. Kejujuran dalam menjalankan ibadah puasa ini menjadi modal penting dalam membangun relasi dalam kehidupan, juga menjadi modal utama dari sebuah kepercayaan.
Kelima, Puasa meredam nafsu buruk manusia. Dimana nafsu buruk ini dapat merusak sendi kehidupan sosial, dan menjadikan jiwa yang tidak baik. Puasa hadir sebagai suatau cara yang sangat efektiv dalam mencegah berbagai macam keburukan yang akan timbul akibat nafsu buruk manusia ini.
Selain puasa ramadhan ada juga kewajiban lain yang hanya ada di dalam bulan ramadhan adalah mengeluarkan zakat fitrah. Seperti diketahui fitrah merupakan konsep kesucian asal pribadi manusia yang memandang bahwa setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci bersih. Karena itu zakat fitrah merupakan kewajiban pribadi berdasarkan kesucian, namun memiliki konsekuensi sosial yang besar.  Sebab, zakat seperti halnya sedekah pertama-tama dan terutama diperuntukan buat fakir miskin dan orang-orang yang mengalami kesulitan hidup serta beberapa sasaran zakat lainnya yang kesemuanya itu adalah untuk kepentingan umum misalnya sasaran amil zakat, ibnu sabil, kaum muallaf  dan kepentingan umat secara keseluruhan.
Itulah beberapa implikasi dari ibadah-ibadah di dalam bulan ramadhan bagi terbentuknya tatanan sosial masyarakat yang jika diterapkan pada bulan-bulan di luar bulan ramdhan maka suatu peradaban besar dengan tatanan sosial yang sehat akan segera terbentuk. Namun, nilai nilai yang ada di dalam bulan ramadhan hanya berakhir sampai pada tanggal satu syawal setelah perayaan idul fitri. Nilai nilai yang diharapkan bisa diejewantahkan demi terbentuknya kehidupan sosial yang lebih baik ternyata hanya sebatas harapan dan hanya dimiliki pada bulan ramadhan saja.